Total Tayangan Halaman

Sabtu, 09 Juli 2011

PENGENDALIAN NAFSUH, CEMAS, SYAHWAT DAN MARAH

Rasulullah Shalallahu alaihi
wasallam mangajarkan cara-
cara menghilangkan
kemarahan dan cara
menghindari efek negatifnya,
diantaranya adalah: 1. Membaca ta'awudz ketika
marah.
-------------------------------------------
Al Imam Al Bukhari dan Al
Imam Muslim rahimakumullah
meriwayatkan hadits dari Sulaiman bin Surod
Radliyallahu 'anhu :
"Ada dua orang saling mencela
di sisi Nabi Shalallahu alaihi
wasallam dan kami sedang
duduk di samping Nabi Shalallahu alaihi wasallam .
Salah satu dari keduanya
mencela lawannya dengan
penuh kemarahan sampai
memerah wajahnya. Maka
Nabi Shalallahu alaihi wasallam bersabda : Sesungguhnya aku
akan ajarkan suatu kalimat
yang kalau diucapkan akan
hilang apa yang ada padanya.
Yaitu sekiranya dia
mengucapkan : 'Audzubillahi minasy Syaithanirrajiim. Maka
mereka berkata kepada yang
marah tadi : Tidakkah kalian
dengar apa yang disabdakan
nabi? Dia menjawab : Aku ini
bukan orang gila." 2. Dengan duduk
--------------------
Apabila dengan ta'awudz
kemarahan belum hilang maka
disyariatkan dengan duduk,
tidak boleh berdiri. Al Imam Ahmad dan Abu
Dawud rahimahullah
meriwayatkan hadits dari Abu
Dzar Radliyallahu 'anhu bahwa
Nabi Shalallahu alaihi wasallam
bersabda : "Apabila salah seorang
diantara kalian marah dalam
keadaan berdiri duduklah, jika
belum hilang maka
berbaringlah." Hal ini karena marah dalam
berdiri lebih besar
kemungkinannya melakukan
kejelekan dan kerusakan
daripada dalam keadaan
duduk. Sedangkan berbaring lebih jauh lagi dari duduk dan
berdiri. 3. Tidak bicara
------------------
Diam tidak berbicara ketika
marah merupakan obat yang
mujarab untuk
menghilangkan kemarahan, karena banyak berbicara
dalam keadaan marah tidak
bisa terkontrol sehingga
terjatuh pada pembicaraan
yang tercela dan
membahayakan dirinya dan orang lain. Dalam hadits disebutkan :
"Apabila diantara kalian marah
maka diamlah." Beliau ucapkan
tiga kali.
(HR. Ahmad) 4. Berwudlu
--------------
Sesungguhnya marah itu dari
setan. Dan setan itu diciptakan
dari api maka api itu bisa
diredam dengan air, demikian juga sifat marah bias diredam
dengan berwudlu. Rasulullah Shalallahu alaihi
wasallam bersabda : "Sesungguhnya marah itu dari
syaithan dan syaithan itu
dicipta dari api, dan api itu
diredam dengan air maka
apabila diantara kalian marah
berwudlulah." (HR. Ahmad dan yang lainnya
dengan sanad hasan) Adapun pemicu kemarahan
ada empat, barangsiapa yang
mampu mengendalikan maka
Allah Subhanahu wa Ta'ala
akan dijaga dari syetan dan
diselamatkan dari neraka. Berkata Al Imam Al Hasan Al
Bashri rahimahullah :
"Empat hal, barangsiapa yang
mampu mengedalikannya
maka Allah akan menjaga dari
syetan dan diharomkan dari neraka : yaitu seseorang
mampu menguasai nafsunya
ketika berkeinginan, cemas,
syahwat dan marah." Empat hal ini yaitu keinginan,
cemas, syahwat dan marah
merupakan pemicu seluruh
kejelekan dan kejahatan bagi
orang yang tidak mampu
mengendalikan nafsunya. 1. Keinginan
---------------
Keinginan adalah kecondongan
nafsu pada sesuatu yang
diyakini mendatangkan
manfaat pada dirinya, seringnya orang yang tidak
mampu menguasai nafsu akan
berusaha sekuat tenaga untuk
mendapatkan keinginannya
itu dengan segala cara
walaupun harus dengan cara harom, dan terkadang yang
diinginkan juga berupa sesuatu
yang haram. 2. Cemas
-----------
Cemas adalah rasa takut dari
sesuatu. Orang yang cemas
akan berupaya untuk
menolaknya dengan segala cara walaupun harus dengan
cara harom seperti meminta
perlindungan kepada selain
Allah. 3. Syahwat
-------------
Sahwat adalah kecondongan
nafsu pada sesuatu yang
diyakini dapat memuaskan
nafsunya. Seringnya orang yang kalah dengan nafsunya
memuaskan nafsu
syahwatnya itu pada sesuatu
yang haram seperti zina,
mencuri, minum khamer
bahkan pada sesuatu yang menyebabkan kekufuran,
kebid'ahan dan kemunafikan. 4. Marah
-----------
Marah adalah gelagaknya
darah hati untuk menolak
gangguan sebelum terjadi atau
untuk membalas gangguan yang sudah terjadi. Kemarahan
seringnya dilakukan dalam
bentuk perbuatan yang
diharamkan seperti
pembunuhan, pemukulan dan
berbagai kejahatan yang melampaui batas. Terkadang dalam bentuk
perkataan yang diharamkan
seperti tuduhan palsu, mencela
dan perkataan keji lainnya dan
terkadang meningkat sampai
pada perkataan kufur. Tetapi tidak semua kemarahan
itu tercela, ada yang terpuji ,
bahkan sampai pada tingkatan
harus marah yaitu ketika kita
melihat agama Allah
direndahkan dan dihinakan, maka kita harus marah karena
Allah terhadap pelakunya. Rasulullah Shalallahu alaihi
wasallam tidak pernah marah
jika celaan hanya tertuju pada
pribadinya dan beliau sangat
marah ketika melihat atau
mendengar sesuatu yang dibenci Allah maka Beliau
tidak diam, beliau marah dan
berbicara. Begitu keadaan beliau
senantiasa berada diatas
kebenaran baik ketika marah
maupun ketika dalam keadaan
ridha/tidak marah. Dan demikianlah semestinya
setiap kita selalu diatas
kebenaran ketika ridha dan
ketika marah.
Rasulullah Shalallahu alaihi
wasallam bersabda : artinya : "Ya Allah, aku memohon
kepada-Mu berbicara yang
benar ketika marah dan
ridha." (Hadits shahih riwayat
Nasa�i) Al Imam Ath Thabari
rahimahullah meriwayatkan
hadits Anas :
"Tiga hal termasuk akhlak
keimanan yaitu : orang yang
jika marah kemarahannya tidak memasukkan ke dalam
perkara batil, jika senang
maka kesenangannya tidak
mengeluarkan dari kebenaran
dan jika dia mampu dia tidak
melakukan yang tidak semestinya." Maka wajib bagi setiap muslim
menempatkan nafsu
amarahnya terhadap apa yang
dibolehkan oleh Allah
Subhanahu wa Ta'ala, tidak
melampaui batas terhadap apa yang dilarang sehingga nafsu
dan syahwatnya menyeret
kepada kemaksiatan,
kemunafikan apalagi sampai
kepada kekafiran. Kesempatan baik ini untuk
melatih diri kita menuju sifat
kesempurnaan dengan
menghilangkan sifat pemarah
dan berupaya menjadi orang
yang tidak mudah marah. Rasulullah Shalallahu alaihi
wasallam bersabda :
"Bukanlah puasa itu sekedar
menahan makan dan minum.
Sesungguhnya puasa itu
(adalah puasa) dari perbuatan keji dan sia-sia. Apabila ada
orang yang mencelamu atau
membodohimu maka
katakanlah : sesungguhnya
aku sedang berpuasa,
sesungguhnya aku sedang berpuasa."
(HR. Ibnu Huzaimah dengan
sanad shahih) Wallahu a'lam bishawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar