Total Tayangan Halaman

Kamis, 07 Juli 2011

JANJI DIBALIK COBAAN

Jika Anda memiliki anak
pertama yang berumur 2.5
tahun, lahir setelah 17 tahun
menikah, setelah Anda
sembuh dari kemandulan.
Anak Anda tersebut mengalami:
•bermasalah dalam pembuluh darah di liver,
•jantung berhenti berdetak selama 45 menit,
•pendarahan hebat yang membuat jantungnya berhenti
berdetak untuk yang kedua
kali
•pendarahan di liver, sembuh, pendarahan lagi berulang-
ulang sampai 6 kali,
•tumor dan radang otak, •radang ginjal, •radang pada selaput kristal yang mengitari jantung,
penyakit tersebut hadir silih
berganti, terus menerus dalam
waktu 6-8 bulan …, Apa yang Anda lakukan? ♥♥♥ Dr. Abdullah bercerita,
“Ada seorang perempuan yang datang kepada saya
dengan menyeret langkah-
langkah kakinya, ia
menggendong anaknya yang
tersiksa oleh penyakit. Ia adalah seorang ibu yang
berusia mendekati empat
puluh tahun. Ia memeluk
anaknya yang masih kecil ke
dadanya, seakan-akan anak
tersebut adalah potongan tubuhnya. Kondisi anak itu
memprihatinkan, terdengar
satu dua tarikan nafas dari
dadanya. Saya bertanya kepada si ibu,
‘Berapa umurnya ?’ Ia menjawab, ‘Dua setengah tahun.’ Kami melakukan pemeriksaan
kepada anak itu, ternyata
anak itu bermasalah dalam
pembuluh-pembuluh darah di
livernya. Kami segera melakukan
tindakan operasi kepadanya,
dan dua hari setelah operasi,
anak itu sudah sehat. Sang ibu
pun tampak gembira dan
riang. Ketika melihat saya, ia
bertanya, ‘Kapan anak saya boleh pulang dok?’ Tatkala saya hampir menulis
surat keterangan pulang, tiba-
tiba anak kecil itu mengalami
pendarahan hebat di
tenggorokannya, sehingga
menyebabnya jantungnya berhenti berdetak selama 45
menit. Kesadaran anak tersebut sudah
hilang. Lalu para dokter
berkumpul di dalam
ruangannya. Beberapa jam
telah berlalu, namun mereka
tidak sanggup membuatnya tersadar. Salah seorang teman saya
segera mendatangi ibunya dan
berkata kepadanya,
‘Kemungkinan anak Anda mengalami kematian otak
(koma) dan saya mengira
bahwa ia tidak memiliki
harapan untuk hidup. ’ Saya menoleh kepada teman saya
tersebut sambil mencelanya
karena ucapannya tersebut. Lalu saya melihat kepada si
ibu, demi Allah, perkataan
teman saya itu tidak
menambah selain ia
mengucapkan, ‘Penyembuh adalah Allah, Pemberi
kesehatan adalah Allah. ’ Kemudian ia terus menerus
membaca, ‘Saya memohon kepada Allah jika ada
kebaikan pada
kesembuhannya, maka
sembuhkanlah ia.’ Setelah itu ia diam dan berjalan
menuju sebuah kursi kecil, lalu
duduk. Kemudian ia
mengambil mushaf kecilnya
yang berwarna hijau dan
membacanya. Para dokter pun keluar, saya
juga keluar bersama mereka.
Saya berjalan melewati anak
itu, kondisinya belum berubah,
sesosok tubuh yang terbujur
kaku laksana mayat di atas tempat tidur putih. Lalu saya
menoleh kepada ibunya,
keadaannya juga masih tetap
seperti sebelumnya. Satu hari ia membacakan Al-
Qur’an kepada anaknya; satu hari membacanya dan satu hari
setelannya mendoakannya.
Beberapa hari kemudian, salah
seorang perawat perempuan
memberitahu saya bahwa
anak itu sudah mulai bergerak, saya langsung memuji Allah. Saya berkata kepada si ibu,
‘Wahai Ummu Yasir, saya sampaikan kabar gembira
kepada Anda bahwa keadaan
Yasir mulai membaik. ’ Ia hanya mengucapkan satu
ucapan sambil menahan air
matanya, ‘Alhamdulillah, Alhamdulillah.’ Dua puluh empat jam
kemudian kami dikejutkan
dengan kondisi si anak, ia
kembali mengalami
pendarahan hebat seperti
pendarahan sebelumnya, dan jantungnya berhenti berdetak
untuk kedua kalinya. Tubuhnya yang kecil kelihatan
lelah, gerakannya telah hilang.
Salah seorang dokter masuk
untuk melihat kondisinya
secara langsung, lalu saya
mendengarnya berucap, ‘Mati otak. ’ Sang ibu terus menerus
mengulang-ulang,
‘Alhamdulillah, atas setiap keadaan, penyembuh adalah
Allah.’ Beberapa hari kemudian, anak itu sembuh
kembali. Namun, baru berlalu
beberapa jam, ia kembali
mengalami pendarahan di
dalam livernya, lalu
gerakannya berhenti. Beberapa hari kemudian ia
sadar lagi, lalu kembali
mengalami pendarahan baru,
kondisinya aneh, saya tidak
pernah melihat kondisi seperti
itu selama hidup saya, pendarahannya berulang-ulang
hingga enam kali, sedangkan
dari lisan ibunya hanya keluar
ucapan, ‘Segala puji bagi Allah, Penyembuh adalah Rabb-ku,
Dia-lah Penyembuh. ’ Setelah beberapa kali
pemeriksaan dan pengobatan,
para dokter spesialis batang
tenggorokan berhasil
mengatasi pendarahan, Yasir
mulai bergerak-gerak lagi. Tiba-tiba, Yasir kembali diuji
dengan bisul besar (tumor) dan
radang otak. Saya sendiri yang memeriksa
keadaannya. Saya berkata
kepada ibunya, . ’Keadaan anak Anda mengenaskan sekali dan
kondisinya berbahaya. ’ la tetap mengulang-ulang
ucapannya, ‘Penyembuh adalah Allah ’ la mulai membacakan Al-
Qur’an kepada buah hatinya. Setelah dua minggu, tumor itu
tetap ada. Dua hari kemudian,
anak tersebut mulai sembuh,
kami memuji Allah karenanya. Sang ibu bersiap-siap untuk
pulang, namun satu hari
kemudian, tiba-tiba anak
tersebut mengalami radang
ginjal parah yang dapat
menyebabkan gagal ginjal kronis dan hampir
menyebakan kematiannya. Sementara si ibu tetap
berpegang teguh, bertawakal
dan berserah kepada Rabb-nya
serta terus mengulang-ulang,
‘Penyembuh adalah Allah. ’ Lalu, ia kembali ke tempatnya
dan membacakan Al-Qur ’an kepada anaknya. Hari-hari berlalu, sedangkan
kami terus berusaha
memeriksa dan mengobati
secara maraton hingga
berlangsung sampai tiga bulan,
kondisinya pun membaik, segala puji hanya bagi Allah. Akan tetapi, kisah ini belum
berhenti sampai di sini saja, si
anak kembali diserang
penyakit aneh yang belum
pernah saya kenal selama
hidup. Setelah empat bulan, ia
terserang radang pada selaput
kristal yang mengitari
jantung, sehingga memaksa
kita untuk membuka sangkar
dadanya dan membiarkannya terbuka untuk mengeluarkan
nanah. Ibunya hanya melihat
kepadanya sambil berucap,
‘Saya memohon kepada Allah agar menyembuhkannya, Dia
adalah penyembuh dan
pemberi kesehatan. ’ Lalu, ia kembali ke kursinya dan
membuka mushafnya. Terkadang saya melihat
kepada ibu tersebut,
sementara mushaf ada di
depannya, ia tidak menoleh ke
sekelilingnya. Kemudian saya
masuk ke ruang refreshing, maka saya melihat banyak
pasien dengan berbagai
penyakit dan para penunggu
mereka. Saya melihat sebagian dari
para pasien tersebut berteriak-
teriak dan yang lainya
mengaduh-aduh, sedangkan
para penunggunya menangis,
dan sebagian dari mereka berjalan di belakang para
dokter. Sementara ibu itu tetap berada
di atas kursinya dan di depan
mushafnya, tidak berpaling
kepada orang yang berteriak
dan tidak berdiri menghampiri
dokter serta tidak berbicara dengan seorang pun. Saya merasa bahwa ia adalah
gunung, setelah berada selama
enam bulan di ruang
refreshing. Saya berjalan
melewati anaknya, saya
melihat matanya terpejam, tidak berbicara dan tidak
bergerak, dadanya terbuka. Kami mengira bahwa ini
merupakan akhir
kehidupannya, sedangkan
sang ibu tetap dalam
keadaannya, membaca Al-
Qur’an. Seorang penyabar yang tidak mengeluh dan
tidak mengaduh. Demi Allah, ia tidak mengajak
saya bicara dengan sepatah
katapun dan tidak pula
bertanya kepada saya tentang
kondisi anaknya. Ia hanya
berbicara setelah saya mulai mengajaknya bicara tentang
anaknya tersebut. Adapun usia suaminya sudah
lebih dari empat puluh tahun.
Terkadang suaminya menemui
saya di dekat anaknya, ketika
ia menoleh kepada saya untuk
bertanya, istrinya menarik tangannya dan
menenangkannya serta
mengangkat spiritnya dan
mengingatkannya bahwa sang
Penyembuh adalah Allah. Setelah berlalu dua bulan,
keadaan anak tersebut sudah
membaik, lalu kami
memindahkannya ke ruangan
khusus anak-anak di rumah
sakit, kondisinya sudah mengalami banyak kemajuan. Keluarganya pun mulai
membiasakan kepadanya
berbagai jenis terapi dan
pelatihan. Setelah itu, anak
tersebut pulang ke rumahnya
dengan berjalan kaki, ia melihat dan berbicara seakan-
akan ia tidak pernah tertimpa
sesuatu sebelumnya. Maaf, kisah menakjubkan ini
belum selesai, karena satu
setengah tahun kemudian,
ketika berada di ruang kerja
saya, tiba-tiba suami wanita
itu masuk menemui saya, sedangkan di belakangnya
istrinya menyusulnya sambil
menggendong bayi kecil yang
sehat. Ternyata si anak kecil itu
sedang diperiksakan secara
rutin di RS tersebut, mereka
datang kepada saya untuk
menyampaikan salam. Saya bertanya kepada si
suami, ‘Masya Allah, apakah bayi kecil ini adalah anak yang
keenam atau ketujuh di dalam
keluarga Anda ?’ Ia menjawab, ‘Ini yang kedua, dan anak pertama kami adalah anak
yang Anda obati setahun yang
lalu. Ia merupakan anak
pertama kami yang lahir
setelah tujuh belas tahun kami
menikah dan sembuh dari kemandulan.’ Saya menundukkan kepala,
dan langsung teringat dengan
gambaran ibunya ketika
sedang menunggui anaknya.
Saya tidak mendengar suara
yang keluar darinya dan tidak melihat tanda kegelisahan
pada dirinya. Saya mengucap di dalam hati,
‘Subhanallah.’ Setelah tujuh belas tahun bersabar dan
mencoba berbagai terapi
kemandulan, lalu diberi rezeki
dengan seorang anak laki-laki
yang dilihatnya mati berkali-
kali di hadapannya. Akan tetapi, wanita tersebut
hanya berpegang teguh pada
kalimat ‘Laailaaha illallaah’ dan keyakinan bahwa Allah adalah
Dzat Penyembuh dan Pemberi
kesehatan. Subhanallah! Betapa
besar tawakkal dan keimanan
yang dimiliki wanita itu. ” E_N_D Kisah di atas, meski bukan
kisah para ulama, namun
merupakan kisah nyata yang
terjadi pada zaman kita. Dimana posisi kita
dibandingkan ibu dalam kisah
tersebut? Ya Allah, berilah kami
kemudahan untuk bersabar,
tawakkal, dan benar-benar
berserah diri kepada-Mu, dalam
setiap waktu, setiap keadaan,
dan setiap tempat. Amiin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar