Total Tayangan Halaman

Rabu, 06 Juli 2011

Tsaqofah Tarbawiyyah

Kontroversi Teletubbies di
Berbagai Belahan Dunia Masihkah anak anda
Mengindolakan Teletubbies? Walaupun kelihatan sepintas
lucu, namun dibalik film
tersebut tersembunyi pesan
pesan Kampanye Homoseks,
sehingga telah menimbulkan
reaksi diberbagai dunia. Sebagian besar negara Eropa,
negara Islam, Malaysia dan
bahkan Singapore telah
melakukan banned atas
penayangan film, cuma justru
lucunya tidak ada satupun organisasi Islam di Indonesia /
MUI melakukan hal itu.
Apakah karena terlalu sibuk?? Namun sampai saat ini
walaupun penayangan di TV
sudah tidak adalagi (karena
sudah habis serialnya) namun
kelihatannya “Teletubbies”
sudah menjadi Trade Mark terbukti dengan penggunaan
maskot & attributnya dalam
berbagai produk anak-anak
(baju, kue Ul-Tah, Kaos dll)
masih sering kita jumpai. Kampanye Homoseks
Teletubbies Seorang Pendeta terkemuka di
Amerika menguraikan misi
homoseks di balik tayangan
lucu Teletubbies. Kontroversi
meluas. Singapura melarang
penayangannya. Indonesia? Di Indonesia, tontonan tsb
hampir saban hari diputar di
Indosiar dan digandrungi
anak-anak. Television in the tummy of the
babies (disingkat Teletubbies,
televisi di perut para bocah)
adalah film yang menampilkan
empat tokoh boneka gendut
(tubby) dan lucu bernama Tinky-Winky (berwarna
ungu), Dipsy (hijau), Laa-Laa
(kuning), dan Po (merah). Di
kepala empat sekawan itu ada
antena, yang menandakan
bahwa televisi memang sudah menjadi bagian tak
terpisahkan bagi anak-anak.
Rumahnya berupa lapangan
golf yang hijau dan sejuk,
disebut Teletubbyland. Di situ
ada kincir angin, televisi, kelinci, pancuran air, yang
selalu disinari matahari
berwajah bayi imut-imut. Film rekaan Anne Woods dan
Andrew Davenport yang
pertama kali muncul di Inggris
tahun 1995 itu tak sekadar
nongol di televisi. Pernik-
perniknya juga membanjir di toko mainan, toko buku, mal,
pasar, sampai perempatan
lampu merah. Bentuknya bisa
komik, kartu, boneka, VCD,
gantungan kunci, stiker, sikat
gigi, tempat nasi, handuk, pigura, dan berbagai asesoris
peralatan sekolah. Bahkan kini
telah terbit majalah
Teletubbies. Pendeknya, sang
idola itu bisa menyapa anak-
anak di mana saja, kapan saja. Tak mengherankan bila anak-
anak begitu akrab. Cuma, ada satu hal yang
agaknya sulit dikenali anak-
anak pada umumnya, yakni
jenis kelaminnya. Sebab,
kostumnya sama,
aktivitasnya pun tak berbeda. Robbi Mighfari dan Balivia
Andi Permata, murid-murid
sebuah TK di Surabaya,
mempunyai jawaban berbeda
ketika ditanya mana dari
anggota Teletubbies yang perempuan. Robbi menjawab
Po. “Sebab Po kan warnanya
merah,” alasannya. Tapi
menurut Balivia justru Tinky-
Winki-lah, si ungu, yang
perempuan. Eki, salah seorang murid kls IV
sebuah SD di Jkt mengatakan :
"Yang paling membingungkan
adalah sosok Tinky-Winky,
anggota Teletubbies yang
paling besar. Dia itu laki-laki, tapi kadang tingkahnya
kayak cewek. Suka mbawa
tas dan bunga. Kayak orang
banci." Di Barat identitas Teletubbies
memang sempat menjadi
perdebatan heboh. Bermula
dari pendapat Pendeta Jerry
Falwell dalam sebuah tulisan di
National Liberty Journal (Februari 1999) yang menilai
Teletubbies membawa misi
homoseksualitas lewat tokoh
Tinky-Winky. Alasannya?
“Tinky-Winky berwarna ungu
warna kebanggaan kaum gay dan mempunyai antena
segitiga terbalik di kepalanya
simbol kebanggaan gay,” kata
Falwell. Majalah Time edisi 12 Oktober
1998 juga menyatakan hal
yang sama. Di situ dilaporkan
bahwa Tinky Winky yang
membawa tas/dompet merah
merupakan ikon kaum gay di Inggris. Identitas tokoh-tokoh
Teletubbies memang tidak
jelas. Perbedaan gender hanya
digambarkan secara samar
dengan suara dan pilihan
warna: ungu dan hijau muda untuk laki-laki, merah dan
kuning untuk perempuan. Dan
di mata Falwell, ini dianggap
sebagai pembenaran terhadap
aktivitas homoseksual dan
biseksual. Kalangan rohaniwan Kristen
menilai, indoktrinasi dini
terhadap anak batita (di
bawah tiga tahun) lewat
Teletubbies akan
menyebabkan anak tak bisa membedakan mana laki-laki
mana perempuan. Lebih
berbahaya lagi kalau anak
sudah dicekoki nilai: boleh saja
laki-laki sekali-sekali menjadi
perempuan, dan sebaliknya. “Diluncurkannya Teletubbies
adalah khusus untuk
berkomunikasi dengan balita
guna memasukkan nilai
homoseksualitas. Dengan cerita
berbahasa bayi, digambarkan bahwa perilaku homo dan
biseks adalah wajar,” masih
kata Falwell. Menurut psikolog pendidikan
Elzim Khosyiyati,
ketidakjelasan identitas ini
berbahaya bagi perkembangan
psikis anak-anak. “Itu sama
dengan mengaburkan esensi dari nilai pendidikan anak
yang harus jelas dan tegas,”
ujar Elzim yang juga aktivis
Lembaga Pendidikan Islam Dwi
Matra, Surabaya. Hal senada ditulis Berit Kjos di
situs Edutainment.
Menurutnya, secara tidak
disadari, anak-anak dibentuk
Teletubbies untuk bisa
menerima kelainan-kelainan perilaku seksual seperti
biseksual, homoseksual, dan
lesbian sebagai sesuatu yang
wajar. Juga, anak-anak
dibentuk untuk menjadikan
televisi sebagai dunia mereka. Pendapat Kjos ini sama dengan
pandangan umum kaum ibu di
Inggris yang menilai
Teletubbies mensosialisasikan
televisi kepada anak-anak
dalam usia terlalu dini. Tuduhan bahwa Teletubbies
membawa misi gay segera
ditentang keras oleh Ragdoll
Productions dan koleganya,
produser film ini. Juru bicara
untuk Itsy Bitsy Entertainment Co., pemegang
lisensi Teletubbies di AS,
berdalih bahwa dompet Tinky
Winky adalah tas ajaib.
“Sebenarnya yang dibawa tak
menunjukkan dia gay. Ini adalah pertunjukan anak-
anak, cerita,” kata Steve Rice
seperti dikutip Associated
Press (1999). Yang paling keras menentang
Falwell tentu saja kalangan
gay. Dalam sebuah wawancara
diCBS, Joan Garry yang
mewakili Aliansi Gay dan
Lesbian, dengan nada cemooh menganggap Falwell sebagai
penuduh yang pandir.
Sedangkan Michael Colton di
harian New York Observer
menganggap tuduhan itu
sebagai hal yang terlampau aneh dan mengerikan. Stan
Yann dalam The Voice malah
balik menuduh Falwell sebagai
pendeta gemuk seperti
Teletubby (tubby= gemuk)
yang bodoh. Namun pendapat Falwell tidak
salah bila kita cermat melihat
adegan film Teletubbies.
Tingkah laku si Ungu memang
seperti seorang gay. Dia suka
bunga, membawa dompet warna merah, gerak tariannya
dan nada nyanyiannya. Sebuah
kebiasaan orang perempuan.
Padahal keterangan resmi
yang dikeluarkan sebuah
produsen acara teve anak- anak PBS kids, jenis kelamin
Tinky Winky adalah male
(laki-laki). Tinky Winky juga tak segan-
segan berebut rok dengan Po.
Saat rebutan itu terjadi,
‘dewa’-nya Teletubbies
matahari bermuka bayi lucu
lalu mengatur agar yang berebut rok itu memakainya
secara bergantian. Dewa bayi
itu seolah menjadi ‘tuhan’
yang menganjurkan perilaku
seks menyimpang. Kalangan orang tua juga mesti
waspada dengan adegan
‘berpelukan’ yang selalu
dilakukan empat sekawan itu
di akhir acara. Menurut Elzim,
pelukan di antara anggota keluarga wajar, dan baik baik.
Namun efek adegan
berpelukan Teletubbies sangat
didasari kebudayaan Barat. Ibu
dua anak ini sekarang kerap
menjumpai kecenderungan anak-anak di sekolah yang
gandrung Teletubbies sering
melakukan pelukan kepada
kawan perempuan maupun
lelaki, baik berlawanan jenis
maupun tidak. “Di satu sisi memang bisa mengakrabkan,
tapi di sisi lain bila perilaku ini
terus-menerus dilakukan bisa
fatal akibatnya. Anak-anak
akan terbiasa melakukan
pelukan dan ciuman dengan siapa saja tanpa pandang bulu.” Dampak lebih jauh, bila yang
gandrung adalah anak laki-
laki, akan berbahaya. “Anak
laki-laki yang suka boneka
Teletubbies akan terpengaruh
seperti jiwa anak perempuan, bahkan bisa saja kemudian
hari memperlakukan dirinya
seperti perempuan atau
waria,” jelas Elzim. Tidak hanya ajaran gay. Cara
bicara tokoh Teletubbies yang
cedal pun banyak diprotes
kalangan ibu-ibu di Inggris.
Misalnya pelafalan kata ‘Halo’
menjadi ‘Ee-o’. Menurut Elzim Khosyiyati, bahasa cadel
semacam itu tidak baik bagi
proses pembelajaran
kemampuan verbal anak.
“Kita seharusnya mengajarkan
pesan verbal secara tegas dan jelas kepada anak,” ujarnya. Meski penuh kontroversi,
Teletubbies terus melaju tinggi.
Ia telah mendatangkan
keuntungan 80-an juta
poundsterling bagi Ragdoll
Productions dan BBC Worldwide, produsernya. Kini
45 negara di dunia menyiarkan
serial anak-anak yang
ternyata mengusung misi
kaum Nabi Luth ini, dan
menjadi terpopuler di dunia. Bagi negeri yang peduli
terhadap anak-anak,
Teletubbies dilarang. Di
Singapura, serial Tinky-Winky
dan kawan-kawan ini tidak
ditayangkan karena dianggap berpengaruh buruk terhadap
perkembangan jiwa anak.
Bagaimana di Indonesia yang
mayoritas beragama Islam? Teletubbies Digugat,
Menyebarkan Tradisi Gay? Lucu amat mereka yaaa, imut-
imut gemas dan empuk. Itu
yang kita bayangkan ketika
melihat 4 sosok selebritis baru
kesukaan anak batita. Setiap
ke pasar, pasti anak merengek minta dibelikan boneka salah
satu dari 4 tokoh tsb. Entah
yang Ungu (Tinky Winky,
paling besar), Hijau muda
(Dipsy), Kuning (La Laa)
maupun Merah (Po, paling kecil). Saya hafal karakter-
karakter mereka sampai
kepada model antena di kepala
masing-masing adalah karena
diprotes anak-anak. Tinky
Winky antenanya adalah segitiga terbalik, Dipsy lurus
seperti tongkat mencuat ke
atas, La Laa melingkar seperti
pegas dan Po antenanya
seperti bulatan cincin. Beberapa
produsen boneka ‘aspal’ (asli palsu) meniru dengan tidak
tepat, sehingga ketika saya
membelikan anak saya, saya
diprotes: ” Nggak cocok
Ummi…., antena Po bukan
seperti tongkat, tapi Dipsy yang begitu.” Apalah artinya
mainan. Kemudian berlanjut dengan
membeli VCD nya. Lucu-lucu
blo’on, khas anak baru belajar
bicara. Dengan satu catatan:
suara yang dipakai adalah
suara dewasa yang berlogat celat, sehingga kesan saya: koq
seperti orang cacat mental?
Tetapi sekali lagi: Apalah
artinya mainan. Apalagi
memang sarat fantasi ruang
angkasa dengan gambaran rumah yang seperti pesawat
ruang angkasa dan segala
pernak pernik khayalan
termasuk matahari dengan
wajah bayi di tengah-
tengahnya. Jalan ceritanya pun amat-amat
sederhana: mengenalkan
berbagi mainan, mengenalkan
bermain bersama,
mengenalkan bahwa setiap
orang punya barang kesukaan (my favorite things)…. Begitu
sederhana sampai bungsu saya
yang belum dua tahun sudah
bisa menirukan kata-kata
mereka yang khas : “A-oo”
sambil menutup mulut. Itu adalah ritual Teletubbies jika
ada sesuatu yang salah atau
sesuatu yang kurang.Tanpa
sadar gaya mereka memang
mudah sekali melekat pada
batita dan tidak mustahil akan selamanya. Sekali lagi: Apalah
arti mainan? Tapi ternyata artinya lebih dari
sekedar mainan. Beberapa
waktu yang lalu beredar di
internet polemik tentang
Teletubbies. Ada seorang pastor
menggugat sosok Tinky
Winky yang seperti banci:
suara berat tapi suka sekali
pada dompet. Menurut salah
seorang pengamat media anak, penggambaran sosok laki-laki
(suara yang berat) dengan
memakai dompet merah
seperti itu, khas dompet kaum
ibu di Inggris raya, bahkan
seperti tas tangan Ratu Elizabeth pada acara-acara
sosial, sangat feminin. Pada
awalnya pastor tsb-pun
digugat balik oleh para
pendukung Teletubbies dengan
berdalih bahwa dompet Tinky Winky adalah “magic bag”
alias dompet ajaib, jadi buat
apasih diributkan? Itu kata
mereka (it’s nothing
important), sekali lagi:
Namanya juga mainan khayal apapun boleh. Tetapi apakah
benar begitu saja? Ternyata semakin banyak
yang terungkap dalam
polemik yang kemudian juga
melibatkan berbagai pengamat
media anak di daratan Eropa
dan Amerika. Info lain yang masuk semakin mengejutkan:
1)Warna Tinky Winky adalah
warna kesayangan kaum gay
2)Antena Tinky Winky
(Segitiga kebalik) adalah
simbol Gay/Maho atau Lesbian 3)Antena Dipsy adalah simbol
(maaf) kelamin laki-laki.
4) Antena Lala bersimbol
(maaf) adalah cewek dan
cowok yang sedang kim***.
4)Antena Po simbol perempuan Bahkan dari jalan cerita salah
satu filmnya, jelas
menunjukkan sebuah niat
untuk memperkenalkan
tingkah laku para homosex,
yaitu Tinky Winky berebut rok dengan La Laa dan
diperbolehkan oleh si Matahari
(yang di dalam Teletubbies
Land dianggap sebagai simbol
pengganti semua otoritas
dunia manusia, yaitu otoritas orangtua, guru dll termasuk
Tuhan!). Jadi ada satu lagi yang
diajarkan di sini: re-definisi
atas simbol-simbol otoritas! Selama ini kaum homosex
sedang bergelut untuk minta
pengakuan dunia bahwa
homosexual adalah sebuah
kecenderungan sejak lahir
(dalam bahasa Islam disebut fitrah, sebagaimana
ketertarikan laki-laki terhadap
perempuan). Mereka
menggugat agar punya gereja
sendiri dan bisa menikah resmi
dengan pasangannya, mereka juga menggugat agar
masyarakat menerima mereka
sebagaimana menerima para
cacat mental atau orang buta.
Innocent!Tanpa dosa! Sejauh ini sudah ada gereja-
gereja dan pendeta-pendeta
yang cukup ‘gila’ untuk
mengakui mereka kemudian
mau menikahkan pasangan
gay atau lesbian, tetapi tetap saja Kepausan di Roma
menolak dan mengkucilkan
pendeta dan gereja yang
menyimpang. Otoritas agama
seperti itu amat di tentang
oleh kaum gay dan dianggap melanggar ‘hak asasi mereka’.
Kemudian inilah yang kita
lihat, sebuah usaha untuk
mulai mengubah tata nilai
manusia dengan mendidik
batita dengan bahasa batita. Agaknya mereka berharap
bahwa dengan mengajarkan
batita “kesamaan dan
persamaan” bagi mereka dan
segala tingkah laku
menyimpangnya, maka 20 tahunan lagi mereka akan
diakui sebagai sebuah
komunitas yang sah,
sebagaimana sekarang orang
Amerika menganggap sah
adanya komunitas negro atau hispanik di Amerika
Serikat.Globalisasi telah
membuat Teletubbies ini
bukan hanya nge-top di negeri
asalnya Inggris (pertama kali
diluncurkan sebagai program Unesco di stasiun TV PBS dan
kemudian BBC), tapi juga
segera merambah ke seluruh
dunia. Keberhasilan mereka
terletak pada bahasa
komunikasi yang mereka gunakan. Para aktornya telah susah
payah diajarkan bagaimana
bertingkah laku, berbicara dan
bergerak seperti Batita
(toddler). Mengingat betapa
sedikitnya film-film yang mendidik yang benar-benar
bisa bicara dengan batita, saya
akui teknik mereka dalam
berkomunikasi dengan batita
amat canggih. Meskipun kita,
sebagai orang dewasa akan merasa ganjil dengan gaya
Teletubbies (seperti kesan
yang saya dapatkan yaitu
seperti orang cacat mental),
tetapi bagi batita mereka
betul-betul mewakili dunianya. Penuh warna, main
kejar-kejaran, banyak bunga
dan binatang tak berbahaya,
lapangan luas dan matahari
yang bersinar cerah. Absennya sosok penting bagi
batita ternyata merupakan
sebuah kesengajaan demi
melancarkan misi kaum gay.
Sosok yang hilang adalah
sosok orangtua. Biasanya, bagi batita sosok ‘mama’ atau
‘papa’ amat lekat dengan
dunia mereka. Dalam
Teletubbies Land, sosok itu
ditiadakan (baik mama
maupun papa) karena sosok- sosok inilah yang mulai
menanamkan nilai-nilai tradisi
dan ideologi kepada anak
termasuk agama dan nilai
sosial masyarakat sejak kecil. Inilah yang sedang ‘dimusuhi’
kaum gay, karena biasanya
orangtua-lah yang
memperingatkan anaknya jika
berada dekat-dekat dengan
gay, takut ketularan Aids maupun takut terbawa
perilaku mereka. Nah, dalam
Teletubbies Land tak perlu ada
orangtua, anak-anak bisa
hidup mandiri dan tetap
gembira tanpa mama atau papa sebagai sosok otoritas.
Jika ada sesuatu yang tidak
beres, ada sosok lain yang
punya tugas khusus, yaitu Nu-
Nu si Vacum Cleaner, sebagai
sosok pelayan yang membereskan apa yang di
kacaukan atau dibuat
berantakan oleh para
Teletubbies. Jadi tak perlu
mama. Satu-satunya sosok otoritas
yang dibolehkan ada adalah
sosok matahari dengan wajah
bayi (sebagaimana wajah para
pemirsa). Jadi dalam
Teletubbies Land sosok otoritasnya berada dalam
posisi yang sedikit banyak
’sejajar’ dengan para
Teletubbies maupun penonton:
sama-sama bayi! Dan sang
‘matahari bayi’ tadi mengajarkan: boleh saja boys
(laki-laki, yaitu Tinky Winky)
memakai rok ballet berenda
bergantian dengan La Laa dan
yang lain. Jadi ‘boys’ dan ‘girls’
boleh bertukar peran, karena dalam Teletubbies Land jenis
kelamin tidak penting dan
boleh gantian! That’s it !! Ini adalah sosialisasi awal yang
amat-amat halus dan canggih
dengan sasaran yang amat
tepat: anak yang sangat kecil
yang putih bersih bagai kertas
kosong. Bahkan ada pengamat media lain yang mensinyalir
bahwa matahari bayi yang
digambarkan dalam serial ini
diambil dari mitos-mitos para
penyembah berhala, Yunani,
Persia dan Hindu. Seolah para pencipta Teletubbies ingin
menciptakan Dewa baru bagi
manusia, yaitu dewa yang
menerima gay sebagai
kewajaran dalam hidup.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar