Total Tayangan Halaman

Rabu, 06 Juli 2011

Kisah Teladan Muslimah

♥ Fathimah Binti Abdul Malik Bin Marwan. ♥ Ia sangat cantik, lembut dan
memiliki wawasan, agama
yang sangat bagus dan sifat
wara’ yang belum dimiliki oleh wanita Bani Umayyah saat itu.
Ia adalah seorang wanita
fashih dan sastrawati hebat di
zamannya. Ia menikah dengan seorang
pemuda yang bernama Umar
Bin Abdul Aziz al-Amawi
sebelum ia memegang tampuk
pemerintahan.
Umar, suaminya itu mencukupinya dengan
hartanya dan memberikan
kepuasan dengan
pendapatannya, namun ia
sendiri juga memiliki harta
yang cukup banyak. Keduanya hidup dalam
kesenangan dan kemewahan,
namun ketika tampuk
pemerintahan diserahkan
kepadanya, ia merasa bahwa
beban itu terlalu berat tidak sanggup dipikul oleh bahunya.
Diantara kata-kata yang
diucapkannya kepada
Fathimah: “Jika kamu ingin tetap bersama saya, maka
kembalikan semua harta,
perhiasan dan permata yang
ada padamu ke Baitulmal
kaum muslimin, karena itu
semua milik mereka. Jika kamu tidak setuju dengan
permintaaanku itu, saya dan
kamu tidak akan pernah lagi
bersama-sama dalam satu
rumah”. Rumah tangga Umar bin Abdil
Aziz dan istrinya berlangsung
di rumah ayah Fathimah yang
hidup dalam kenikmatan.
Tiada seorang pun perempuan
di dunia masa itu yang mempunyai kehidupan yang
lebih dibandingkan Fathimah.
Andaikan dia mau
meneruskan gaya hidupnya di
rumah suaminya maka tentu
bejananya setiap hari dan setiap saat makan akan penuh
dengan makanan yang paling
enak, paling langka, dan paling
mahal. Bila ingin menikmati
segala macam kenikmatan
yang dikenali manusia, niscaya beliau akan mampu
melakukannya. ” Syaikh Muhibbuddin kemudian
mengatakan,
“Yang saya sampaikan berikut bukanlah omong kosong kalau
sesungguhnya kehidupan
megah dan mewah sangat
mungkin akan merugikan
kesehatan orang-orang kaya,
sementara orang-orang sederhana bisa menikmati
kesehatan. Kehidupan yang
megah bisa menyebabkan
seseorang mendapatkan rasa
dengki, hasad, dan kebencian
orang-orang miskin. Ditambah lagi, bagaimana pun cerianya
kehidupan (yang mewah)
lama kelamaan pun menjadi
biasa dan membosankan.
Apabila orang-orang yang
mendapatkan puncak kenikmatan lantas bertemu
dengan keadaan fakir maka
jiwa mereka pun meminta
lebih dari itu, dan mereka pun
tidak sanggup
mendapatkannya. Sedangkan orang yang hidup
seimbang mengetahui bahwa
tangan mereka bisa meraih apa
yang lebih dari keadaan
mereka dan mereka bisa
mendapatkannya kapan pun mereka mau. Hanya saja
mereka lebih memilih
membebaskan diri darinya dan
dari segala kebutuhan mewah
agar mereka bisa lebih tinggi di
atasnya dan agar mereka tidak menjadi budak syahwat. Oleh karena itu, Khalifah
Agung Umar bin Abdil Aziz
memilih –dalam keadaan beliau sebagai raja terbesar di muka
bumi saat itu- menetapkan
pengeluaran rumah tangganya
hanya beberapa dirham setiap
harinya. Sang isteri Khalifah,
anak Khalifah, dan saudari empat khalifah itu juga ridha
dengan keadaan ini. Fathimah
pun menjadi sosok wanita
yang dikagumi karena dia bisa
menikmati rasa lezat qana ’ah dan bersenang-senang dengan
manisnya kesederhanaan.
Sehingga lezat dan manisnya
qanaah ini lebih enak dan
memuaskan bagi beliau bila
dibandingkan dengan semua kemewahan dan kemegahan
yang sebelumnya beliau
kenali. Suami beliau, Umar bin Abdul
Aziz pun kemudian
menasehati beliau untuk naik
dari sifat kekanak-kanakan,
meninggalkan semua
permainan dan barang rendahan yang dulu elok
(berupa perhiasan mewah – ed.) bagi dua telinga, pundak,
rambut, dan pergelangan
tangannya, hal-hal yang
sebenarnya tidak memberikan
manfaat sama sekali yang
apabila kemewahannya itu dijual, maka harganya akan
bisa mengenyangkan perut
para rakyat; kaum pria,
wanita, maupun anak-anak. Fathimah menyambut usul
suaminya. Beliau beristirahat
dari beratnya perhiasan, intan
permata, dan mutiara yang
telah dia bawa dari rumah
ayahnya. Semuanya dia kirim ke Baitul Mal untuk
kepentingan kaum muslimin. Setelah itu Amirul Mukminin
pun wafat tanpa
meninggalkan apa-apa bagi
isteri dan anak-anaknya.
Penanggung jawab Baitul Mal
datang kepada Fathimah dan berkata kepadanya, “Wahai tuanku, sesungguhnya intan
permatamu masih senantiasa
seperti keadaannya semula.
Sesungguhnya saya
memandangnya sebagai
barang amanah darimu, makanya saya simpan dengan
baik hingga hari ini. Saya
datang untuk meminta izinmu
untuk mengembalikannya. ” Namun apa jawab Fathimah?
Beliau menjawab kalau dirinya
telah menghibahkannya ke
Baitul Mal untuk kepentingan
kaum muslimin sebagai
ketaatan kepada Amirul Mukminin. Beliau katakan,
“Aku tidak mau menaatinya ketika dia masih hidup lantas
menentangnya ketika dia
sudah wafat ”. Fathimah enggan menarik
kembali harta yang halal dan
warisannya yang bernilai
milyaran itu, walaupun pada
saat itu beliau butuh beberapa
dirham. Oleh karena itulah Allah menuliskan kekekalan
nama bagi dirinya (namanya
tetap dikenang sampai saat ini
–). Dan termasuklah kita saat ini menyebutkan tentang
harta bendanya yang
melimpah dan ketinggian
derajat beliau, sedangkan kita
sudah terpisah berabad-abad
darinya. Semoga Allah merahmati beliau dan
meninggikan tingkatannya di
surga kenikmatan. Sesungguhnya kehidupan
yang paling enak ialah
kehidupan sederhana dalam
segala sesuatu. Betapa pun
suatu kehidupan itu kurang
atau nikmat maka kalau orangnya menjalani terus dia
akan merasa biasa.
Kebahagiaan itu ada di saat ada
perasaan ridha, dan orang
yang merdeka ialah orang
yang bebas dari semua yang tidak dia butuhkan. Inilah
kekayaan dalam pengertian
Islam dan kemanusiaan,
semoga Allah menjadikan kita
termasuk di dalamnya. ” Amin...
______________________ kutipan dari tulisan Syaikh
Muhibbuddin Al-Khatib di
Muqaddimah Adabuz Zifaf Salam ukhuwah fillah
(Arif Ashadi Rindu Ibu)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar