Total Tayangan Halaman

Rabu, 06 Juli 2011

MAKNA CINTA KAHLIL GIBRAN

Bagi Gibran cinta mengarahkan
manusia pada Allah, dan
karena cinta pula Allah
mempertemukan diri-Nya
kepada manusia. Lantaran itu
dalam pandangan Gibran cinta sesungguhnya adalah cinta
atas nama Allah dan cinta
kepada Allah itu sendiri,
karena segala sesuatu adalah
pantulan dan imanensi dari
Sang Mahacinta. Cinta kepada yang lain selain Allah, tetapi
atas nama dan di dasarkan
pada Allah akan membawa
manusia dan alam semesta
kepada persekutuan dengan
Allah. Hal ini terungkap jelas dalam tulisannya yang
berjudul Cinta Keindahan
Kesunyian, (Yogyakarta,
Bentang Budaya, 1999, hal.
72-74)
"Cinta membimbingku mendekati-Mu namun
kemudian kegelisahan
membawaku menjauhinya.
Aku telah meninggalkan
pembaringanku, cinta, karena
takut pada hantu kelupaan yang bersembunyi di balik
selimut kantuk. Bangun,
bangun, cintaku, dan
dengarkan aku. Aku
mendengarkan-Mu, kekasihku!
Aku mendengar panggilan-Mu dari dalam lautan dan
merasakan kelembutan sayap-
sayap-Mu. Aku telah
menginggalkan
pembaringanku dan berjalan di
atas rerumputan. Embun malam membasahi kaki dan
keliman pakaianku, di sini aku
berdiri di bawah bunga-bunga
pohon Almond,
memperhatikan ruh-Mu."
Gibran tidak hanya menekankan cinta sebagai
dasar hubungan antara
manusia dengan Allah, tetapi
lebih jauh dari itu melalui dan
dalam cinta manusia
diarahkan, dituntun sampai pada tahap akhirnya hidup
dalam persekutuan dengan
Allah. Cinta melampaui
keterbatasan manusia,
menembus ruang fisik dan
berjumpa dengan Allah. Dengan demikian cinta
ditempatkan Gibran sebagai
bentuk hubungan terpenting
dan tertinggi.
Agar sampai pada persekutuan
dengan Allah melalui Cinta, bagi Gibran cinta itu harus
berangkat dari peran manusia
yang kongkret dalam kodrat
kemanusiaan dan potensi-
potensinya yang lebih jauh
dan luas. Dalam Triloginya Sang Nabi, Taman Sang Nabi, dan
Suara Sang Guru (Yogyakarta,
Pustaka Sastra, 2004, hal 212)
dengan jelas Gibran
menggambarkan tentang hal
tersebut. "Kalian orang-orang beriman
yang dapat menemukan
adanya suatu dasar untuk
kemajuan seluruh umat
manusia dalam sifat baik
manusia, dan bahwa dalam diri manusia terdapat tangga
kesempurnaan yang menuju
Roh Kudus? Jika kalian dapat
berlaku demikian, maka kalian
akan seperti bunga bakung di
taman kebenaran yang abadi harumnya baik tersimpan
dihirup manusia atau tersapu
oleh angin lalu."
Hal senada dikatakan Gibran
dalamSemua Karena Cinta
(Yogyakarta, Narasi, 2005, hal. 54)
"Hidup tanpa cinta bagaikan
sebatang pohon yang kokoh
berdiri namun dahannya
kering, tanpa dihiasi buah
ataupun bunga." Sejalan dengan pandangan
mistik agama samawi, bagi
Gibran persatuan Allah dan
manusia tidak hanya terjadi
dalam cinta yang meluap-luap
dan berkobar-kobar kepada Allah dalam ekstase. Gibran
lebih memandang pengalaman
mistik dari aspek etika.
Pengalaman mistik dalam
pandangan Gibran tidak berarti
melarikan diri dari tugas dan tanggungjawab hidup di dunia
ini, dengan menyingkir untuk
masuk dalam ekstase
kebahagiaan untuk diri sendiri
saja, membelakangi dunia
serta melupakan segala penderitaan hidup diri sendiri
maupun orang lain. Baginya
mistisisme yang hanya
mementingkan diri sendiri
adalah egoisme alias
pengingkaran terhadap kodrat manusia. Gibran menekankan
bahwa relasi cinta antara Allah
dan manusia baru akan
menjadi nyata bila melimpah
ke dunia dalam wujud cinta
kepada sesama. Ini harus terjadi bukan dengan kata-
kata, melainkan dalam belas
kasihan dan kurban diri.
Wujud tertinggi dari cinta bagi
Gibran adalah terlibat atau
melibatkan diri dalam dunia; dan bentuk keterlibatan itu
dimaknai oleh Gibran dengan
kerja. Kerja atau pekerjaan
adalah satu-satunya wujud
relasi manusia dengan Allah
dalam dunia, sebagai sebuah bentuk kurban diri yang
kongkret. Kerja yang
dimaksudkan Gibran tidak
hanya melibatkan daya fisik
tetapi juga pikiran dan
perasaan manusia. Melalui kerja manusia dapat
mewujudkan dirinya sebagai
individu. Dengan bekerja
manusia dapat melebur dalam
persatuan dengan sesama, dan
dengan bekerja pula manusia dapat menjumpai Allah di
dalam alam semesta. Hal ini
dilukiskan Gibran dalam
Triloginya (hal.28-29)
"...aku berkata bahwa hidup
memang kegelapan, jika tanpa hasrat dan keinginan. Dan
semua hasrat-keinginan adalah
buta, jika tidak disertai
pengetahuan. Dan segala
pengetahuan adalah hampa,
jika tidak diikuti pekerjaan. Dan setiap pekerjaan akan sia-
sia, jika tidak disertai cinta.
Bekerja dengan rasa cinta,
berarti kalian sedang
menyatukan diri dengan diri
kalian sendiri, dengan diri-diri orang lain - dan kepada Allah."
Gibran meyakini bahwa kerja
merupakan dimensi mendasar
hidup manusia di dunia. Latar
belakang pemikirannya adalah
karena manusia ialah citra Allah, juga karena perintah
yang diterima dari Penciptanya
untuk menaklukkan dan
menguasai dunia. Bagi Gibran
semua perkerjaan manusia
harus berorientasi pada cinta. Karena kerja yang
berlandaskan pada cinta, maka
melalui kerja atau pekerjaan
manusia tidak hanya
mengubah kodrat, tetapi juga
mewujudkan dirinya sendiri dan membangun masyarakat
keluarga dan bangsa.
Bagi Gibran cinta tidak punya
makna selain mewujudkan
maknanya sendiri. Cinta tidak
memberikan apa-apa pada manusia, kecuali keseluruhan
dirinya, dan cintapun tidak
mengambil apa-apa dari
manusia, kecuali dari dirinya
sendiri. Cinta tidak memiliki
atau dimiliki, karena telah cukup untuk cinta. Namun jika
manusia mencintai dengan
hasrat dan keinginan, maka
manusia harus meluluhkan diri,
mengalir di dalamnya, dan
terlibat. Hanya saja dalam kehidupan manusia cinta yang
sempurna tidak dapat
ditemukan. Kehidupan adalah
tabir kegelapan, berkerudung
dan bercadar. Melalui dan
dalam cinta manusia senantiasa digiatkan untuk melakukan
pencarian makna kehidupan
dengan mengamalkan cinta
kasih, tetapi kesempurnaan
cinta hanya ada dan dimiliki
oleh Allah. "Apabila kalian mencinta,
janganlah berkata: "Allah ada
di dalam hatiku" tetapi
sebaliknya kalian merasa:
"Aku berada di dalam Allah"
Dan jangan kalian mengira bahwa kalian dapat
menentukan arah cinta, karena
cinta apabila telah
menjatuhkan pilihan pada
kalian, dialah yang akan
menentukan perjalanan hidup cinta." (Trilogi hal.14)
Dalam kehidupan, manusia
tidak mampu mengukur
kualitas cinta, sebab
kepenuhan cinta
sesungguhnya adalah Allah itu sendiri. Allah adalah awal dan
akhir kehidupan, Allah adalah
cinta, maka hanya dalam dan
melalui cinta manusia berjalan
dan mengarahkan dirinya
kepada Allah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar