Total Tayangan Halaman

Rabu, 06 Juli 2011

FIQIH DALAM BERPACARAN

Ibnu Qayyim Al-Juziyah (atau
Al-Jauziyyah) sungguh
menakjubkan. Inilah yang
kami rasakan ketika membaca
buku terjemahan kitab beliau,
Raudhatul Muhibbiin, yang berjudul Taman Orang-orang
Jatuh Cinta, terj. Bahrun AI
Zubaidi, Lc (Bandung: Irsyad
Baitus Salam, 2006).
Bagaimana tidak
menakjubkan? Di buku setebal 930 halaman tersebut, orang
yang jatuh cinta ditawari
“rahmat dan syafaat” (hlm.
715 dst.). Selain itu, beliau
mengarahkan pembaca untuk
“menyeimbangkan dorongan hawa nafsu dan potensi
akal” (hlm. 29 dst.). Hal-hal
semacam ini jarang kami temui
di buku-buku percintaan yang
pernah kami baca.
Memang, sebagaimana ulama- ulama besar lainnya, beliau pun
menekankan “cinta kepada
Allah” dan “cinta karena
Allah” (hlm. 550). Namun,
beliau ternyata juga
membicarakan fenomena “pacaran islami”, suatu topik
sensitif yang sering dihindari
banyak ulama. Beliau
mengungkapkannya
(bersama-sama dengan
persoalan lain yang relevan) di sub-bab “Berbagai hadits,
atsar, dan riwayat yang
menceritakan keutamaan
memelihara kesucian diri” dan
“Cinta yang suci tetap menjadi
kebanggaan” (hlm. 607-665). Di situ, kami jumpai istilah
“pacaran” muncul tujuh kali,
yaitu di halaman 617, 621 (lima
kali), dan 658. Adapun istilah-
istilah lain yang menunjukkan
keberadaan aktivitas tersebut adalah “bercinta” (hlm. 650),
“gayung bersambut” (hlm.
613), “saling mengutarakan
rasa cinta” (hlm. 620-621),
“mengapeli” (hlm. 642-643),
“berdekatan” (hlm. 617), dan sebagainya.
Sekurang-kurangnya, kami
jumpai ada sembilan contoh
praktek pacaran islami yang
diceritakan oleh Ibnu Qayyim
di situ. Dari contoh-contoh itu, dan dari keterangan beliau di
buku tersebut, kami berusaha
mengenali ciri khas “pacaran
islami” ala Raudhatul
Muhibbiin. Ini dia tujuh
diantaranya:mengutamakan akhiratmencintai karena
Allahmembutuhkan
pengawasan Allah dan orang
lainmenyimak kata-kata yang
makruftidak menyentuh sang
pacarmenjaga pandanganseperti berpuasa
1) MENGUTAMAKAN AKHIRAT
Pada dua contoh, pelaku
“pacaran islami” ditawari
kenikmatan duniawi (zina),
tetapi menolaknya dengan alasan ayat QS Az-Zukhruf [43]
: 67, “Teman-teman akrab pada
hari [kiamat] itu sebagiannya
menjadi musuh bagi sebagian
yang lain, kecuali orang-orang
yang bertaqwa.” (hlm. 616 dan 655) Maksudnya, mereka yang
islam itu lebih memilih
kenikmatan ukhrawi daripada
kenikmatan duniawi (ketika
dua macam kenikmatan ini
bertentangan). Adapun pada bab terakhir,
Ibnu Qayyim (dengan
berlandaskan QS Al-Insaan [76]
: 12) menyatakan, “Barang
siapa yang mempersempit
dirinya [di dunia] dengan menentang kemauan hawa
nafsu, niscaya Allah akan
meluaskan kuburnya dan
memberinya keleluasaan di
hari kemudian.” (hlm. 918)
2) MENCINTAI KARENA ALLAH
Pada suatu contoh,
diungkapkan syair:
“Sesunggguhnya aku merasa
malu kepada kekasihku bila
melakukan hal yang mencurigakan; dan jika diajak
untuk hal yang baik, aku pun
berbuat yang baik.” (hlm. 656)
Syair tersebut
menggambarkan bahwa
percintaannya “menghantarkannya untuk
dapat meraih ridha-Nya” (hlm.
550). Menghindari hal yang
mencurigakan dan menerima
ajakan berbuat baik itu
diridhai Dia, bukan? Lantas, apa hubungannya
dengan “cinta karena Allah”?
Perhatikan:
Yang dimaksud dengan cinta
karena Allah ialah hal-hal yang
termasuk ke dalam pengertian kesempurnaan cinta kepada-
Nya dan berbagai
tuntutannya, bukan
keharusannya. Karena
sesungguhnya cinta kepada
Sang Kekasih menuntut yang bersangkutan untuk mencintai
pula apa yang disukai oleh
Kekasihnya dan juga mencintai
segala sesuatu yang dapat
membantunya untuk dapat
mencintai-Nya serta menghantarkannya untuk
dapat meraih ridha-Nya dan
berdekatan dengan-Nya. (hlm.
550)
3) MEMBUTUHKAN
PENGAWASAN ALLAH DAN ORANG LAIN
Pada suatu contoh, pelaku
“pacaran islami” bersyair:
“Aku punya Pengawas yang
tidak boleh kukhianati; dan
engkau pun punya Pengawas pula” (hlm. 628).
Pada satu contoh lainnya,
Muhammad bin Sirin
mengabarkan bahwa “dahulu
mereka, saat melakukan
pacaran, tidak pernah melakukan hal-hal yang
mencurigakan. Seorang lelaki
yang mencintai wanita suatu
kaum, datang dengan terus-
terang kepada mereka dan
hanya berbicara dengan mereka tanpa ada suatu
kemungkaran pun yang
dilakukannya di kalangan
mereka” (hlm. 621).
4) MENYIMAK KATA-KATA
YANG MAKRUF Pada suatu contoh, ‘Utsman Al-
Hizami mengabarkan,
“Keduanya saling bertanya
dan wanita itu meminta
kepada Nushaib untuk
menceritakan pengalamannya dalam bentuk bait-bait syair,
maka Nushaib mengabulkan
permintaannya, lalu
mendendangkan bait-bait
syair untuknya.” (hlm. 620)
Pada enam contoh, para pelaku pacaran islami “saling
mengutarakan rasa cintanya
masing-masing melalui bait-
bait syair yang indah dan
menarik” (hlm. 620-621).
Pada suatu contoh, pelaku pacaran islami mengabarkan,
“Demi Tuhan yang telah
mencabut nyawanya, dia sama
sekali tidak pernah
mengucapkan kata-kata yang
mesum hingga kematian memisahkan antara aku dan
dia.” (hlm. 628)
5) TIDAK MENYENTUH SANG
PACAR
Pada suatu contoh, pelaku
pacaran islami menganggap jabat tangan “sebagai
perbuatan yang tabu” (hlm.
628).
Pada dua contoh, pelaku
pacaran islami tidak pernah
menyentuhkan tangannya ke tubuh pacarnya. (hlm. 634)
Pada satu contoh lainnya,
pelaku pacaran islami
“berdekatan tetapi tanpa
bersentuhan” (hlm. 621).
Sementara itu, Ibnu Qayyim mengecam gaya pacaran jahili
di zaman beliau. Mengutip
kata-kata Hisyam bin Hassan,
“yang terjadi pada masa
sekarang, mereka masih belum
puas dalam berpacaran, kecuali dengan melakukan hubungan
sebadan alias
bersetubuh” (hlm. 621).
6) MENJAGA PANDANGAN
Di antara contoh-contoh itu,
terdapat satu kasus (hlm. 617) yang menunjukkan bahwa si
pelaku pacaran islami “dapat
melihat” kekasihnya. Akan
tetapi, Ibnu Qayyim telah
mengatakan “bahwa
pandangan yang dianjurkan oleh Allah SWT sebagai
pandangan yang diberi pahala
kepada pelakunya adalah
pandangan yang sesuai dengan
perintah-Nya, yaitu pandangan
yang bertujuan untuk mengenal Tuhannya dan
mencintai-Nya, bukan
pandangan ala setan” (hlm.
241).
7) SEPERTI BERPUASA
Ibnu Qayyim menyimpulkan: Demikianlah kisah-kisah yang
menggambarkan kesucian
mereka dalam bercinta.
Motivasi yang mendorong
mereka untuk memelihara
kesuciannya paling utama ialah mengagungkan Yang
Mahaperkasa, kemudian
berhasrat untuk dapat
menikahi bidadari nan cantik
di negeri yang kekal (surga).
Karena sesungguhnya barang siapa yang melampiaskan
kesenangannya di negeri ini
untuk hal-hal yang
diharamkan, maka Allah tidak
akan memberinya kenikmatan
bidadari nan cantik di negeri sana…. (hlm. 650)
Oleh karena itu, hendaklah
seorang hamba bersikap
waspada dalam memilih salah
satu di antara dua kenikmatan
[seksual] itu bagi dirinya dan tiada jalan lain baginya kecuali
harus merasa puas dengan
salah satunya, karena
sesungguhnya Allah tidak
akan menjadikan bagi orang
yang menghabiskan semua kesenangan dan kenikmatan
dirinya dalam kehidupan dunia
ini, seperti orang yang
berpuasa dan menahan diri
darinya buat nanti pada hari
berbukanya saat meninggalkan dunia ini
manakala dia bersua dengan
Allah SWT. (hlm. 650-651)
Begitulah tujuh ciri khas
pacaran islami ala Raudhatul
Muhibbiin dalam pandangan kami. Bagaimana dengan
Anda? Tolonglah beritahu
kami apa saja ciri khas pacaran
islami ala Raudhatul Muhibbiin
dalam pandangan Anda!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar